■ Halal bi Halal saat Lebaran

Setiap hari raya idul fitri datang, tidak hanya baju baru saja yang menjadi ciri untuk menyambut kedatangan “bulan kemenangan” setelah satu bulan berpuasa. Tetapi ada hal yang lebih dari itu. Yaitu tradisi halal bi halal.
Halal bi halal, adalah tradisi yang hanya ada di Indonesia dan merambah ke beberapa Negara tetangga dalam rumpun melayu, seperti Malaysia. Yang dicirikan dengan saling bersilaturrahmi dan saling bermaaf-maafan satu sama lain.
KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam Tradisi Lebaran, Tradisi Melebur Dosa (2006), menengarai tradisi halal bi halal itu dilakukan setelah njungkung sebulan penuh di bulan Ramadhan dengan ikhlas, hanya memburu ridho Allah, agar dosa-dosa kita (ummat Islam) diampuni.
Namun, tambah budayawan penulis buku Lukisan Kaligrafi ini, dosa yang diampuni itu hanya yang berhubungan langsung dengan Allah. Masih ada dosa lain yang berkaitan dengan sesama kita, antar kita, dimana ampunan Allah bergantung pada pemaafan masing-masing yang bersangkutan. Apabila anda saya sakiti atau saya zalim dan anda tidak memaafkan saya, Allah pun tidak akan mengampuninya sampai anda mau memaafkan saya.
“Idul fitri” sendiri diambil dari nama zakat yang wajib dikeluarkan oleh orang-orang Islam yang mampu, sebelum ied (hari raya) tiba, yaitu zakat “fitrah”. Sementara “lebaran”, dalam pandangan masyarakat umum, lazim dipahami sebagai sebuah perayaan yang diadakan usai (jawa: lebar) melaksanakan puasa Ramadhan.

Unik
Halal bi halal adalah sebuah tradisi yang sangat unik. Sebuah kreasi dan konstruk budaya masyarakat Indonesia, yang tidak akan pernah dijumpai di negeri dimana Islam pertama kali diwahyukan.
Seperti dikemukakan Suliswiyadi dalam Tradisi Saling Memaafkan lewat Halal bi Halal (2004), secara konsep, istilah dan kegiatan halal bi halal ini tidak muncul dari Al-Qur’an dan Hadis. Jadi, secara tegas dalam Islam, halal bi halal ini tidak ada.
Namun, Dosen Universitas Muhammadiyah Magelang ini menambahkan, jika dilihat dari rohnya kegiatannya, Al-Qur’an dan Hadis memang memberikan landasan untuk itu. “Kelahiran tradisi dan budaya ini tidak lepas dari unsur pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya. Inilah barangkali setitik bukti rahmatan lil’alamin-nya Islam dalam realitas sosial budaya.”
Keunikan dari tradisi halal bi halal dalam idul fitri di Indonesia ini, juga dikemukakan oleh Abdul Munir Mulkhan. Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini melihat halal bi halal sebagai religiositas mayoritas warga negeri ini, yang berlangsung begitu saja tanpa suatu kesadaran, yang sering melampaui akar- akar normatif dan teologis suatu ajaran agama.
Misteri teologis, seperti yang dikemukakannya dalam Napak Tilas Kemanusiaan dalam Misteri Mudik (2003), ini telah membuat para pemudik di Hari Raya Fitrah mengalami semacam alkoholisme atau ekstase, yaitu suatu situasi yang secara sosiologis disebut “mabuk ketuhanan” yang tak lagi peduli apakah sumber tekstual dan teologisnya ada.
Bukan hanya sekadar ketakpedulian akan tiadanya sumber tekstual dan teologis yang belum jelas, bahkan meski menghabiskan banyak uang untuk merayakan tradisi halal bi halal, tradisi ini tetap berjalan bahkan semakin terpupuk dengan baik.
Sebagai legitimasi, ajaran Islam yang dikaitkan dengan tradisi halal bi halal dengan mudik yang harus dilalui oleh kaum urban (pelancong) ialah ajaran tentang silaturahmi (menyambung cinta-kasih) dan ajaran untuk minta maaf bagi seseorang saat menyadari telah berbuat salah kepada orang lain.
Mudik sendiri, bagi Abdul Munir Mulkhan, merupakan prosesi ritual maha-kolosal dan misterius yang hanya ada di negeri seribu pulau ini; Indonesia. Menurutnya, prosesi ritual ini mengandung banyak makna melampaui doktrin teologis. Dimana jutaan manusia bergerak serentak di hari-hari terakhir Ramadhan seolah sedang melakukan napak tilas atas jejak atau asal-muasal kehadirannya di dunia.
Melalui mudik, tambahnya, seolah sejarah hendak didaur ulang, disegarkan kembali, dan dicerahkan guna memberi roh dan napas baru perjalanan sejarah satu tahun ke depan. Ritus-ritus itu terus diulang kembali tiap akhir Ramadhan dengan harapan manusia memperoleh nilai fitrahnya kembali.

Saling memaafkan
“Prosesi” silaturrahmi dan “ritual” saling memaafkan dalam halal bi halal, sepintas bisa dikatakan sebagai sebuah hal yang sangat artifisial (simbolis) yang sekadar menjadi tradisi tahunan. Padahal, dalam ajaran agama, setiap kita melakukan kesalahan baik kepada Allah (habl min Allah) maupun kepada sesama manusia (habl min al-nass), hendaknya lah langsung meminta maaf.
Kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, permintaan maaf itu dimanifestasikan dengan membaca istighfar disertai komitmen yang teguh untuk tidak mengulanginya lagi. Sementara kepada sesama, harus diwujudkan dengan meminta maaf dengan jalan bersilaturahmi dan meminta keikhlasan untuk memaafkan kesalahan yang pernah dilakukan.
Tidak akan ada yang menyangkal, tradisi silaturahmi dan saling bermaafan antarsesama adalah hal yang sangat indah. Sebuah proses pembelajaran untuk mengakui kesalahan yang telah dilakukan. Memaafkan kesalahan orang tidak lah gampang. Itu sebabnya, para sufi menyuruh kepada kita, agar melatih memaafkan kesalahan orang lain secara terus-menerus.
Sifat pemaaf harus tumbuh karena ”kedewasaan rohaniah”. Ia merupakan hasil perjuangan berat ketika kita mengendalikan kekuatan ghadhab (marah) diantara dua kekuatan: pengecut dan pemberang. Sifat pemaaf menghias akhlak para nabi dan orang-orang saleh. Dimana rohani mereka (para Nabi dan orang-orang saleh) itu telah dipenuhi sifat Tuhan Yang Maha Pengampun (To err is human, but to forgive is divine). (Suliswiyadi, 2004).
Berkaitan dengan tradisi saling memaafkan saat lebaran, idul fitri dalam halal bi halal, meski sampai sekarang kesan yang muncul sebatas ritual yang lebih bersifat simbolistik belaka, namun tidak ada salahnya untuk tetap dilanggengkan.
Harapannya, ke depan, makna artifisial dalam tradisi saling memaafkan dalam idul fitri ini akan sirna, sehingga ia tidak lagi sekadar menjadi tren saja. Lebih dari itu, menjadi tradisi (budaya) dan sarana untuk belajar mengakui kesalahan yang dilakukan dan belajar memaafkan kesalahan orang lain. Tentu tidak sebatas saat lebaran atau idul fitri saja. Tetapi juga dipraktekkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. ■
Rosidi

4 Comments

Leave a comment