Jadi Pakar Adenium Berkat Membaca

Jangan pernah meremehkan manfaat membaca. Karena dari sana, barangkali tidak sekadar ilmu (pengetahuan) baru yang akan Anda dapatkan, tetapi bisa juga itu akan menunjukkan jalan rizki anda selanjutnya.
M Selem, bapak dua anak kelahiran Gresik 27 Agustus 54 tahun silam itu, salah satu yang telah merasakan manfaat membaca. Berawal dari kegemarannya membaca bagaimana merawat dan mengembangkan adenium (bunga kamboja) di salah satu majalah, kini ia pun sudah menjadi pakar yang tak lagi banyak waktu beristirahat, karena banyaknya panggilan.
“Saya berkecimpung di adenium sejak 2001. Saya memilih mengembangkan adenium, karena banyak orang yang suka, mulai dari orang biasa, sampai orang kaya juga suka,” katanya.

berawal dari kegemarannya membaca, Selem kini jadi pakar adenium

Blora dipilihnya sebagai tempat mengadu nasib dan mengembangkan usaha adenium-nya, karena kondisinya yang cukup panas, sehingga sangat cocok untuk pengembangan bungan jenis adenium ini.
Di Kota Satai ini, suami Parisi yang juga bapak dari Ninik Musripah dan Amin Joko Prayogo, ini tinggal di rumah Taslan, pensiunan Polri yang juga beberapa kali menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Blora. “Saya tinggal di sini. Dikasih tempat sama Bapak Taslan. Sebagai gantinya, saya diminta membantu merawat bunganya,” terangnya saat ditemui di kebun adeniumnya di Kelurahan Bangkle.

Banyak Permintaan
Prediksi Selem memang tidak meleset. Sejak pertama bergelut dengan adenium hingga saat ini, permintaan terhadap bunga itu tak pernah sepi. “Kalau ada silangan baru, pelanggan pasti minta,” terangnya.
Kini, adenium pun sudah memiliki jenis yang sangat variatif (beragam). Di antaranya triple black angel, jingle bell, triple santa claus, valintine rose, double white, double sakura, teamo, dan triple amazing.
“Harganya juga sangat variatif. Yaitu antara Rp 10.000 per stek hingga Rp 20.000 per stek. Namun untuk yang sudah dalam pot, harga berbeda. Untuk kelopak satu harganya Rp 100.000, sementara adenium tumpuk tiga seharga Rp 350.000,” paparnya.
Pada giliran selanjutnya, Selem pun tidak sekadar menjual bunga. Ia juga melayani jasa perawatan dan stek adenium dari rumah ke rumah. “Banyak panggilan untuk melakukan penyetekan dari rumah ke rumah. Untuk ini, per stek adalah Rp 50.000.”
Selain Blora, menurutnya, banyak permintaan juga dari Bojonegoro, bahkan ada juga teman-temannya yang memintanya untuk pindah ke sana. Namun ia tidak meu meninggalkan Blora, karena sudah memiliki pelanggan yang jelas, dan jasanya sangat dibutuhkan untuk merawat adenium, mulai dari orang biasa hingga pejabat-pejabat di Blora.
“Adenium banyak dicari orang dan tidak pernah sepi. Blora sangat prospek dan saya sudah memiliki pelanggan yang jelas,” kata warga RT 3 RW V Desa Kesamben Kulon, Kecamatan Wringinanom, Gresik, ini. Ya, dari membaca, Selem pun kini menjadi pakar adenium yang sangat sibuk memenuhi panggilan pelanggan yang membutuhkan jasanya. (Rosidi)

Kerling Mata Sang Naga di Parade Barongan Blora

Aha, kerling matanya sungguh nakal. Ia mengedipkan matanya ke sana kemari, menggoda lautan manusia yang hadir di alun-alun Blora, Sabtu (15/1) pagi. Sesekali, ia berlari memutar, mengelilingi ruang yang sengaja dibiarkan kosong itu.
Masyarakat pun gemas dengan tingkahnya. Tak ayal, ribuan pasang mata pun terkadang tidak bisa menahan senyum, dan sesekali tertawa melihat tingkah itu. Tak terkecuali Bupati Djoko Nugroho, Wakil Bupati H Abu Nafi, Direktur Umum Bank Jateng Bambang Widyanto, serta beberapa tamu penting lain yang hadir dan duduk di panggung kehormatan.
Ya, itulah ‘godaan’ nakal sang naga dalam group barongsai dari Hok Tik Bio, saat tampil menjadi salah satu bintang tamu dalam parade barongan Blora yang digelar kerjasama Bank Jateng dan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (DKPPOR) Blora.
Parade barongan Blora tersebut dalam rangka memeriahkan undian Tabungan Bima Bank Jateng, yang dilakukan pada Sabtu malam di pendapa rumah dinas bupati. Sebelum kelompok barongsai dari Hok Tik Bio, tampil pula group barongan Risang Guntur Seto pimpinan Adi Wibowo.
Sebagaimana penampilan barongsai, decak kagum masyarakat tak dapat disembunyikan saat Risang Guntur Seto tampil. “Keren banget, ya, mas. Mantep banget,” celetuk salah seorang warga.

21 Group
Parade barongan itu diikuti oleh 21 group barongan dari berbagai kecamatan yang ada di Blora. “Atas anam keluarga besar Bank Jateng, kami menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya parade barongan yang diikuti oleh 21 group dan Risang Guntur Seto serta group Barongsai dari Hok Tik Bio sebagai

atraktif

bintang tamu,” kata Direktur Umum Bank Jateng, Bambang Widyanto, saat membacakan sambutan tertulis Direktur Utama Bank Jateng, Hariyono.
Dikemukakannya, dipilihnya barongan untuk memeriahkan pengundian tabungan Bima, karena seni tradis itu sudah sangat mengakar di masyaralat setempat. “Dipilihnya kesenian barongan ini sebagai rangkaian pengundian Tabungan Bima, karena menurut penelitian pakar, barongan merupakan kesenian asli dari Blora,” lanjutnya.
Karena itulah, Bank Jateng ikut tergerak untuk ikut mendorong keberadaan seni barongan ini. “Masyakat Jateng, khususnya masyarakat Blora, mempunyai tanggungjawab moril untuk ikut melestarikan keberadaan seni baringan ini,” tegasnya.
Kepala DKPPOR, Pudiyatmo, mengemukakan, dengan terselenggaranya parade barongan ini, diharapkan bisa menjadi tonggak semangat berkembangnya barongan Blora, dan ke depan, diharapkan mampu mengangkat seni budaya barongan Blora di kancah nasional maupun mancanegara.
“Ini adalah seni tradisi yang harus kita uri-uri. Kita memiliki tanggungjawab besar untuk ini sebagai warga Blora. Dalam rangka itu pula, pada April mendatang, kita juga telah merencanakan melakukan pemecahan rekor,” tegas Pudiyatmo.
Lima penampil terbaik dalam parade barongan tersebut, yaitu Sekarjoyo (Kunden), lalu Kridhomudo (Cepu), disusul Simolangen Budoyo (Banjarejo), kemudian Cahyo Budoyo (Sambong), dan Sindungriwut (Doplang). [Rosidi]

Inspirasi dari Erupsi Merapi

narsis abis

Semburan awan panas atau yang lebih dikenal dengan ‘wedhus gembel’ dari erupsi Gunung Merapi, belum lama ini, memang menyisakan kesedihan dan korban yang tidak sedikit. Tetapi di Kudus, wedhus gembel ini justru menginspirasi sejumlah pelajar sebagai komunitas yang mereka dirikan.
Mereka adalah siswa-siswi Madrasah Aliyah (MA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Hasyim Asyari 2, yang beralamat di Desa Karangmalang, Kecamatan Gebog. “Kami sepakat menamakan komunitas kami dengan komunitas wedhus gembel. Biar mudah mengingatnya,” ujar Noviana Uchtiya Zulfa, koordinator komunitas tersebut.
Bidang yang ditekuni adalah bidang penulisan. “Kebetulan kami senang menulis. Hobi ini didukung oleh Bapak Kepala Sekolah dan Bapak Ketua Yayasan, jadi kami makin semangat,” lanjutnya yang diamini Abdur Rohim.
Kegiatan-kegiatan intelektual mereka lakukan. Jumat, adalah hari wajib bagi mereka untuk kumpul, mendiskusikan tulisan-tulisan yang kami buat. “Semua anggota wajib menulis, dan dalam pertemuan, dibahas bersama. Kalau dirasa layak, kita akan mencoba mengirimkannya ke media massa,” ujar Novi yang juga bergelut di dunia teater.

Wejangan
Selain hari wajib, yaitu Jumat, komunitas ini selalu bersama-sama di perpustakaan sekolah untuk belajar bareng. “Hampir tiap hari kami berkumpul di perpustakaan untuk membaca-baca buku dan barangkali ada teman yang minta tulisannya dikritisi,” Khaiyun Rohmaniah menambahkan.
Adakah tujuan dengan berhimpunnya mereka dalam komunitas yang kemudian mereka namanya wedhus gembel? “Pertama, kami menanamkan diri untuk semangat belajar, tidak hanya membaca, tetapi juga mentradisikan menulis. Artikel. Puisi. Cerpen. Karikatur. Apapun,” ungkap Mirzaqus Shobiyah yang disambut anggukan kawan-kawannya yang lain.
Belum lama ini, mereka juga menggelar diskusi dengan menghadirkan Qomarul Adib, aktivis Ketua Ansor Anak Cabang (Ancab) Gebog di salah satu ruang kelas. “Ada tiga hal yang akan Anda dapatkan dengan menulis,” tegas Qomar.
Tiga hal tersebut, menurut pengelola Tabloid Bumi itu, adalah intelektualitas, popularitas, dam finansial. “Secara otomatis, kemampuan menulis itu mensyaratkan seseorang untuk banyak membaca. Ini tentu akan menambah daya intelektual kita,” imbuhnya.
Sementara untuk popularitas, yaitu bilamana seseorang menulis artikel di sebuah media massa dan dimuat, maka tidak hanya satu orang yang akan membaca, melainkan ratusan ribu, bahkan jutaan orang. “Kalau dimuat, tentu juga dapat honor. Inilah aspek finansialnya. Namun ini butuh proses yang sangat panjang, maka semangatlah belajar,” pesannya memberikan motivasi. [ros]

Koin Cinta Untuk Pramoedya

Banyak yang menyayangkan, jika rumah keluarga Toer atau keluarga besar sastrawan Pramoedya Ananta Toer di Jalan Sumbawa No 14 Blora, dijual. Tidak hanya tokoh-tokoh seniman dan budayawan asal Bumi Gagak Rimang ini saja yang merasa kehilangan, juga sastrawan dan budayawan di Indonesia.
Sunlie Thomas Alexander, cerpenis yang juga peneliti di Parikesit Institute, Yogyakarta, saat dihubungi Suara Merdeka, Jumat (8/10), juga menyatakan hal sama. “Saya tidak banyak tahu tentang rumah keluarga Pram. Tapi tentang kiprah Pram di dunia sastra Indonesia dan dunia, sangatlah besar. J

Pameran foto dan gambar RA Kartini - Pramoedya Ananta Toer pada peringatan empat tahun meninggalnya Pram

adi, sangat disayangkan jika rumah sastrawan terkemuka itu dijual,” katanya.
Ia pun berharap, ada solusi yang terbaik untuk ‘monumen kecil’ Pram yang menjadi salah satu saksi dari proses kreatifnya menjadi seorang sastrawan yang sangat dikagumi di dunia. “Pasti ada solusi. Memang ini harus dibicarakan dengan banyak pihak,” tambah Sunlie.
Punky Adi Sulistyo, seniman patung Blora ini bahkan menilai, rumah keluarga Pram itu layak dijadikan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) yang harus dilindungi. “Rumah itu memiliki nilai sejarah. Rumah cikal bakal Pram menjadi seorang sastrawan besar,” ungkapnya.
Namun, Punky cuma bisa berdoa agar rencana itu menjual rumah itu batal. Apalagi setelah salah satu seniman yang cukup dekat dengan Soesilo Toer (adik Pram) ini mengetahui dari cerita adik Pram sendiri, bahwa ada faktor internal keluarga, sehingga ada kata sepakat sebagian besar keluarga sang sastrawan itu untuk menjual harta pusaka itu.
Harta pusaka (warisan) berupa tanah dan rumah dari orang tua keluarga besar Toer (Mastoer – Oemi Saidah). Keluarga besar Toer pun, seakan tak bisa dilepaskan dari nama besar Pramoedya Ananta Toer.
Rumah dengan halaman yang cukup luas itu, saat ini cukup terawat sekembalinya Soesilo Toer dari Jakarta dan menetap di Blora. Selain perpustakaan yang diberi nama Pataba yang merupakan akronim dari Pramoedya Ananta Toer asli Blora, halaman rumah tersebut juga nampak hijau oleh tanaman dan pohon jati.
Beberapa kegiatan sastra yang cukup menarik para sastrawan dan budayawan, juga sudah beberapa kali digelar. Di antaranya sebuah acara “1000 Wajah Pram” dan kegiatan yang belum lama ini juga digelar, yaitu memperingati empat tahun meninggalnya penulis “Bumi Manusia” itu.

Koin Cinta
Kepada Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (DKPPOR) Blora Pudiyatmo belum mampu menjanjikan apapun terkait rencana pihak keluarga besar Toer melego rumah warisan orang tuanya. Namun begitu, ia juga sangat menyayangkan jika rumah tersebut dijual.
“Kami akan mengundang banyak pihak untuk berbicara masalah ini. Tetapi menurut saya, rumah itu harus dipertahankan, karena mempunyai nilai yang sangat tinggi dan melekat dengan salah satu legenda sastrawan dunia asli Blora,” paparnya.
Kemarin, sebuah sms bernada prihatin juga diterima Suara Merdeka, yang intinya meminta untuk membuat gerakan mempertahankan rumah Pram. “Kita bikin gerakan koin cinta Pram, mas,” demikian sms yang diterima ke Suara Merdeka.
Eko Arifianto, salah satu pegiat Lembaga Kajian Budaya Pasang Surut, juga berharap agar ada gerakan yang serupa koin peduli Pram untuk menyelamatkan “monumen sastra” yang dimiliki oleh Blora itu.
“Rumah tersebut memiliki nilai historis yang sangat tinggi kaitannya dengan dunia sastra. Tidak hanya dikenal di tanah air, Pram juga sangat dihormati di dunia sastra dunia,” ujarnya.
Menurutnya, harus ada upaya untuk menyelamatkan rumah keluarga Toer itu agar tidak dijual. “Sangat mungkin dilakukan penggalangan dana semacam koin cinta Pram. Saya yakin banyak masyarakat yang tergerak untuk membantunya,” katanya.
Ya, Pram memang bukan hanya milik Blora dan Indonesia saja. Karya-karyanya telah membuat sosok ini menjadi milik dunia, khususnya di bidang sastra. Maka, koin cinta peduli Pram, bukanlah hal yang mustahil muncul di beberapa daerah di Indonesia, bahkan di berbagai negara, untuk mendukung agar rumah itu tidak terjual.
Satu pertanyaan yang muncul kemudian, apakah masyarakat dan pemerintah kabupaten Blora akan rela kehilangan rumah yang memiliki nilai tinggi, dan telah menjadikan kota kaya minyak ini dihormati oleh bangsa-bangsa lain di dunia? Atau, koin cinta Pram itu yang nantinya akan menyelamatkan rumah keluarga Toer itu, agar tidak terjual. (Rosidi)

Mempertahankan “Monumen Sastra” Pramoedya Ananta Toer

Kabar soal rencana penjualan rumah keluarga Toer (Mastoer) yang Suara Merdeka terima dari Soesilo Toer, salah seorang adik Pramoedya Ananta Toer (Pram), sekitar dua bulan lalu, ternyata bukan gurauan. Kepastian rencana menjual rumah itu Suara Merdeka dapatkan setelah mendengar kabar, Koesalah Soebagyo Toer, mengirimkan sebuah surat yang meminta pertimbangan terkait rencana tersebut.
Surat tertanggal 17 Agustus 2010 itu dikirim oleh Koesalah kepada Eko Arifianto (Kokok), salah satu pegiat Lembaga Kajian Budaya Pasang Surut, Blora. “Aku terima kabar itu dari Pak Koesalah lewat pak Soes (Soesilo Toer-Red) September lalu,” kata Kokok yang saat dihubungi sedang berada di Ngawi, Jawa Timur, menungu istrinya yang diperkirakan akan melahirkan dalam waktu dekat.
Soesilo yang ditemui di rumahnya di Jalan Sumbawa No 14, Kelurahan Jetis, Blora, sekali lagi menyatakan bahwa kabar soal rencana menjual rumah keluarga Toer itu memang benar. “Kesepakatan untuk menjual rumah ini mencuat dalam musyawarah keluarga besar Toer di rumah Herman (suami Koesaisah Toer) di Jalan Utan Kayu, Jakarta.
Dalam musyawarah yang dihadiri keluarga besar Toer tersebut, sepakat menjual rumah dan hasilnya dibagi rata, seperti umumnya harta warisan lainnya. Selain itu, salah seorang adik Pram yang sedang sakit sejak sekitar enam tahun terakhir, membutuhkan uang untuk berobat dan kebutuhan keluarga lainnya.
Rumah keluarga Toer di Jalan Sumbawa No 14 Blora itu berupa tanah seluas 3.315 meter dengan bangunan utama berupa rumah seluas 300 meter. Selain itu, ada sebuah rumah kecil lagi disamping rumah utama, yang dalam keseharian, dijadikan sebagai Perpustakaan yang diberi nama Pataba, dan dikelola oleg Soesilo Toer.
Di rumah yang dibangun oleh pasangan Mastoer dan Oemi Saidah pada 1925 itulah, Pram kecil dibesarkan. “Pram lahir di Mlangsen dan dibesarkan di rumah ini,” ujar Soesilo Toer.

Angkat Citra
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta, 30 April 2006. Sastrawan yang meninggal dalam umur 81 tahun itu terbilang sangat produktif. Berdasarkan catatan http://id.wikipedia.org, selama hidupnya, Pramoedya menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Di antara karya Pram adalah Sepoeloeh Kepala Nica (1946), Perburuan (1950), Percikan Revolusi (1951), Bukan Pasarmalam (1951), Cerita dari Blora (1952), Midah Si Manis Bergigi Emas (1954), Cerita Calon Arang (1957), Gadis Pantai (1962-1965), Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Sang Pemula (1985).
Dengan berbagai karyanya itu, ia telah mengolekasi berbagai penghargaan. Seperti Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS (1988), Wertheim Award dari Leiden, Belanda (1995), UNESCO Madanjeet Singh Prize dari UNESCO, Perancis (1996), dan Ramon Magsaysay Award dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina (1995), meski menuai polemik dan protes dari sejumlah sastrawan di tanah air, waktu itu.
Punky Adi Sulistyo, salah seorang seniman Blora lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), mengemukakan, Pram telah berjasa besar mengakat citra Blora lewat karya-karyanya. “Pram banyak mengenalkan Blora lewat karya-karyanya, namun sampai saat ini, di Blora, tidak ada satu prasasti atau apapun yang mengingatkan akan sastrawan besar yang sangat dihormati di dunia internasional itu,” tuturnya.
Selain Punky, Eko Arifianto, pegiat Lembaga Kajian Budaya Pasang Surut bahkan dengan tegas menyatakan Pram sebagai satu dari dua tokoh Blora yang dikenal di dunia. “Di Blora ini ada dua tokoh yang sangat dikenal, pertama Samin Surosentiko dan kedua adalah Pram,” ujarnya.
Karena itu, menjual rumah masa kecil pram, tidak sekadar mengubur nama sastrawan besar itu, namun mengubur Blora secara umum dalam bidang susastra di dunia. “Kalau tidak ada sesuatu pun yang bisa mengingat tentang Pram, maka Blora akan tenggelam dan tidak akan dikenal,” paparnya.
Direktur Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW) Blora Dalhar Muhammadun pun menyayangkan jika rumah mendiang Mastoer yang dalam bahasa Punky disebut sebagai “rumah masa kecil Sang Maestro” Pram itu benar-benar akan dijual. “Seandainya kabar ini benar, selayaknya harus dievaluasi ulang,” tegasnya. (Rosidi)

“Bangga Bekerja di Green House”

– Sumani

Menjadi pegawai di green house sejak berdiri, yaitu sekitar tahun 1979 dan diangkat sebagai pegawai tetap oleh PT Djarum pada tahun 1981. Meski terbilang sebagai pegawai kecil, namun ia sangat bangga.
“Kulo syukur sanget saget nyambut damel wonten mriki. Alhamdulillah, gaji saget kagem nyekapi keluarga,” kata Sumani dengan bahasa Jawa.
Rasa bangga Sumani, semakin membuncah, karena mengetahui, bahwa bibit-bibit yang ditanam dan dirawat bersama para rekan-rekannya di green house, adalah untuk membantu masyarakat dan menghijaukan kawasan yang gundul dan tandus.
Dia bersama teman sekerjanya pun, bekerja dengan giat merawat tanaman yang ada. Mereka bercengkrama dengan berbagai bibit pepohonan setiap hari, merawa

Sumani - Bekerja di Green House Djarum sejak awal

tnya, untuk mengembalikan Indonesia yang hijau sebagaimana dulu. Indonesia asri yang bak zamrut khatulistiwa. [ROSIDI[

Green House, untuk Indonesia Hijau

Berdiri dari keprihatinan melihat gersangngnya kota. Kini, jutaan bibit pepohonan yang beranekaragam, siap digelontorkan untuk mengembalikan Indonesia hijau.
—————————-
Hijau dan asri. Hamparan benih pepohonan yang beraneka ragam, membuat mata tak bosan memandang. Sejumlah pegawai, nampak sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada yang menyirami, memberi pupuk, hingga membersihkan area pembibitan pohon penghijauan, di lahan sekitar dua hektar tersebut.
Demikian suasana yang terlihat ketika SAUDAGAR bertandang ke Green House PT Djarum, Kudus, Jawa Tengah, yang terletak di Desa Kaliputu, Kecamatan Bae.
Tempat ini, satu lokasi dengan Gedung Olah Raga (GOR) Djarum yang pertama dibuat, sebelum GOR di Desa Tanjung, Kecamatan Jati, dibuat. GOR yang menjadi saksi lahirnya atlet-atlet Bulu Tangkis kelas Dunia seperti Liem Swie King, Hastomo Arbi, Hadiyanto, Kartono, Heryanto, Christian Hadinata, Hadibowo dan Alan Budikusuma.
Program Djarum peduli lingkungan sendiri, diilhami dari keprihatinan perusahaan rokok ini, di mana pada tahun 1979-an, Kudus sedang melakukan pembangunan dan pelebaran jalan, sehingga jalan-jalan nampak gersang. Melihat hal tersebut, pihak manajemen perusahaan rokok ini pun merasa terpanggil untuk ikut membangun kota di mana ia berdiri.
Ya, lebih dari 30 tahun lalu, program Djarum peduli lingkungan, telah dimulai. Yaitu dengan menghijaukan taman kota serta melakukan penghijauan di lereng muria yang gersang.
Handoyo Setyo, Corporate Affair PT Djarum Kudus, dalam sebuah kesempatan mengemukakan, bahwa corporate social responcibility (CSR) PT. Djarum Kudus saat ini, konsentrasi pada tiga bidang, yaitu Pendidikan, Lingkungan dan Olahraga. “Kami sadar, ini mungkin bukan pilihan terbaik, tetapi pilihan dari berbagai pilihan baik,” ungkapnya.

Bakti Lingkungan
Kepedulian PT Djarum terhadap lingkungan, tidak terpaku pada kota Kudus saja. Berbagai kota lain, turut menjadi perhatian serupa. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Bengawan Solo serta pemeliharaan mangrove, juga tak luput dari perhatiannya.
Program pernghijauan Djarum, juga memberikan bantuan bibit penghijauan yang diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat. “Tidak hanya untuk masyarakat Kudus dan Jawa Tengah saja, luar Jawa pun kita layani,” terang Yunan Adhitya, Kepala Bagian Penghijauan PT Djarum.
Yunan menambahkan, bibit yang diberikan kepada masyarakat, adakah bibit yang produktif, sehingga hasilnya bisa dirasakan. Berbagai bibit yang disediakan adalah bibit pohon coklat, trengguli, sengon, kenari, jonglot, kedawung, kupu-kupu, pohon perak, glodogan tiang, pohon lilin, cendana, mawar gunung, jambu mawar, palem bintang, asem jawa dan jambu biji.
Ada pula pohon wuni, angsana, ebony, jambu bol, mahoni, sempur, klengkeng, tapak kepyar, palem putrid, kopi, kantil, sembirit, sonokeling, sukun, palem ekor tupai, pohon botol, sawo kecik, juwet, sawo ijo, durian, tanjung, Ex mesir, dewandaru, juwet, bangkongan, sembirit, lobi-lobi, matoa, nagasari, pohon sapu tangan, jambu, lili, jambu muur serta palem payung.
Selama lebih dari 30 tahun berdiri, program ini telah membantu menghijaukan berbagai kawasan di Indonesia. “Memang lebih banyak di Jawa Tengah, tetapi kita juga pernah mengirimkan bantuan bibit ke Kalimantan dan Medan,” tambah Yunan. [ROSIDI]

Green House PT Djarum - Di sinilah tempat pembibitan pohon yang untuk bantuan penghijauan

Program pemberian bibit kepada masyarakat yang merupakan program Djarum Bakti Lingkungan, kata Yunan, tidak ada pembatasan dari daerah mana serta berapa jumlah yang disediakan. “Siapapun yang meminta, kita beri. Tentu melewati proses dan akan di survey oleh tim kalau memungkinkan. Cuma kalau untuk luar Jawa, kendalanya di masalah transportasi.”
Untuk memenuhi berbagai permintaan bantuan bibit pohon untuk penghijauan kepada berbagai pihak, Djarum berencana membuka lahan pembibitan di beberapa tempat lain. Untuk tahap pertama, akan dibuka lahan pembibitan di Desa Terban, Kecamatan Jekulo. Sementara itu, di luar kota, Jakarta menjadi prioritas pengembangan.
Tak hanya itu, Djarum kini juga sedang melakukan berbagai penghijauan di beberapa kawasan di Ibukota. “Sementara ini baru menyentuh Jakarta Selatan,” terang Yunan.
Aktifis lingkungan Masyarakat Rekso Bumi (Marem) Moh. Alamul Yaqin, melihat program Djarum peduli lingkungan, sangat penting artinya. Setahu saya, PT Djarum dalam pelestarian lingkungan di Kudus, khususnya sekitar muria, memiliki peranan yang penting. Melalui program CSR (corporate social responsibility) Bhakti Lingkungan, Djarum menjadi pioneer dalam menghijaukan kota kudus dan sekitarnya.”
Namun meski tidak salah menggantungkan harapan pada Djarum, putera bungsu Kyai Kharismatik dari Pesantren Darul Falah, Jekulo, Kudus, KH Ahmad Basyir, ini mengingatkan, agar untuk pelestarian lingkungan, jangan hanya dibebankan ke Djarum.
“Pelestarian lingkungan hidup di Kudus, jangan ditaruh di pundak Djarum saja. Karena dibutuhkan kesadaran masyarakat dan semua pihak untuk menjaga dan melestarikan alam,” harapnya.
Terlepas dari berbagai hal yang ada, keberadaan Green House Djarum, sangat lah berarti untuk Kudus khususnya dan bangsa secara menyeluruh. Karena dari ruang hijau itulah, bibit-bibit pepohonan telah disiapkan untuk Indonesia yang asri dan hijau. [ROSIDI]

Dilarang Pakai Nama Karena Dianggap Lekra

– cerita Dibalik Penerjemahan Musashi

Siapa tak kenal Musashi, sebuah karya monumental karya Eiji Yoshikawa? Dalam edisi terjemahan Bahasa Indonesia, Musashi ini terbit dalam tiga bentuk. Pertama kali, Musashi edisi Indonesia ini dimuat secara berseri di Harian Kompas pada awal 1980-an, lalu pada 1985, diterbitkan dalam tujuh jilid. Terakhir, diterbitkan dalam satu edisi satu jilid tebal oleh Gramedia, yang cetak pertama pada 2001.
Keosalah Toer. Sosok inilah yang secara tidak langsung mempopulerkan karya Eiji Yoshikawa itu di Indonesia. “Waktu itu Saya mendapatkan tawaran untuk menerjemahkan Musashi dari Kompas. Tetapi dari versi Bahasa Inggris,” katanya kepada Suara Merdeka, saat menghadiri peringatan empat tahun Pramoedya Ananta Toer (Pram) di Blora, Jum’at (30/4) lalu.
Adik sastrawan Pram itu, mengaku menerima order menerjemah itu, karena ia memang butuh uang untuk hidup. Apalagi saat itu, ia baru saja bebas sebagai tahanan orde baru. “Honornya waktu itu Rp 500 per halaman,” ucap lelaki yang sudah menerjemah lebih dari 50 judul buku.
Namun, sekali lagi, kenyataan pahit harus dialami oleh Koesalah. Pasalnya, pada sekitar tahun 1981, ia mendapat telfon dari redaksi Kompas, yang dilarang pemerintah menyantumkan namanya pada terjemahan Musashi yang diterbitkan berseri di koran nasional itu.
“Pemuatan Musashi di Kompas tidak boleh menyantumkan nama saya sebagai penerjemah. Alasannya karena saya Lekra. Akhirnya disepakati memakai nama tim Kompas,” katanya.
Sampai saat ini, buku Musashi versi terjemahan Bahasa Indonesia pun, tidak menyantumkan namanya sebagai penerjemah. “Sekarang alamnya khan sudah lain, sudah reformasi. Saya ingin nama saya bisa dicantumkan dalam buku Musashi yang saya terjemahkan, karena ini bagian dari HAKI,” harapnya. (Rosidi)

Gembol, Karya Seni yang Butuh Ruang Promosi

Banyak karya seni yang memakai bahan dasar kayu sebagai medianya. Namun, bagaimana dengan karya seni yang menggunakan gembol (akar) jati?
Dalam sekala kecil, barangkali di beberapa kota ada pelaku seni yang menggunakan gembol jati sebagai medianya. Tetapi dalam jumlah yang cukup besar, rasanya Blora lah tempatnya.
Di Blora, memiliki ratusan pekerja seni, yang menggunakan media gembol jati ini. Meski pernah vakum atau tidak populer, tetapi Dalhar Muhammadun, salah satu penikmat dan pengrajin seni di Blora, mengakui, seni gembol di Blora sudah lama ada.
“Seni gembol sudah ada sejak lama, meski sekitar dua tahun lalu, sempat tidak populer. Tetapi saat ini mulai menggeliat lagi, dengan para pelaku, pengrajin dan pekerja seni yang ratusan jumlahnya,” katanya.
Punky Adi Sulistyo, salah satu seniman alumnus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), membenarkan pernyataan Dalhar Muhammadun. “Seni gembol sudah ada sejak lama, sejak saya kecil,” ungkapnya.
Menurutnya, meski seni gembol Blora kurang mendapatkan apresiasi dari publik dalam negeri, namun pasar di luar negeri cukup bagus. “Gembol justru lebih dikenal di luar negeri, meski melalui tangan ke enam belas,” kelakarnya.
Mengenai para pekerjanya, Punky, sapaan akrabnya, mengatakan, banyak yang mulanya bekerja di mebel, lalu belajat menjadi pematung. “Rata-rata pematung gembol itu belajar di mebel terlebih dahulu, baru kemudian matung,” terangnya.
Kunto Aji, dalam sebuah kesempatan juga menandaskan, bahwa seni gembol memang sudah menjadi karya seni yang sejak lama dibuat masyarakat Blora. “Iya, sudah sejak lama ada,” papar pemilik Samin Antiques Furniture & Traditional House yang berada di Jalan RA Kartini No 39 Blora.

Butuh Sentuhan
Persoalan seni gembol ini, ternyata membutuhkan perhatian ekstra dari pemerintah daerah. Gembol, sebuah karya seni yang harus dihargai dengan pantas sebagai seni, bukan sebagai kayu semata dengan keuntungan yang tidak seberapa.
Joko Yumianto, adalah salah satu dari sekian pecinta seni gembol yang prihatin dengan kondisi itu. “Selama ini, para pengrajin, pengepul dan pembuat seni gembol memang sudah ada kerjasama, tetapi para pengepul yang masih diuntungkan,” ujarnya.
Keprihatinan lain, adalah bahan baku gembol yang semakin lama semakin meipis. “Dalam banyak kesempatan, kepada teman-teman pelaku seni saya berharap agar gembol yang dimiliki, dijadikan sebagai karya seni yang bernilai tinggi, sehingga bisa dihargai sebagai karya seni, bukan sebagai kayu atau gembol semata. Para pengepul juga seharusnya memberikan pernghargaan lebih terhadap seni gembol, jangan cuma membeli murah, lalu menjualnya dengan harga tinggi,” tambahnya.
Untuk itu, keterlibatan pemerintah daerah, sebenarnya sangat dibutuhkan di sini. Punky mengatakan, seni gembol sudah dikenal di luar negeri, tetapi itu semua tanpa sentuhan dan partisipasi yang signifikan dari pemerintah.
Paling tidak, itulah yang dirasakan Dalhar Muhammadun. “Dalam pengamatan saya, para pengrajin dan pekerja seni, sudah menemukan pasarnya sendiri-sendiri, baik melalui pameran maupun jaringan yang dimilikinya. Kontribusi pemerintah dalam mengenalkan seni gembol dan ikut memasarkannya, masih sangat kurang,” tuturnya.
Untuk itu, ia pun berharap agar pemerintah bisa turun tangan dalam mengenalkan seni gembol, agar keprihatinan Punky, bahwa seni gembol dikenal di luar negeri melalui tangan ke enam belas, tidak akan terus berlarut-larut.
“Saya pikir, antusiasme masyarakat dan pelaku seni gembol akan tinggi, jika pemerintah mau turun tangan, apalagi pengrajin yang belum punya jaringan dan tidak cukup mempunyai modal,” tegas Madun.
Kapankah pemerintah akan turun tangan, agar para pelaku seni tidak jalan sendirian? Semua menunggu jawabnya. (Rosidi)

RIYAN

Fitriyan Dwi Rahayu, gadis belia asal Kabupaten Kebumen ini, tiba-tiba saja menjadi buah bibir. Ia bak harta karun yang baru saja ditemukan di antara bongkahan-bongkahan bebatuan. Sinarnya yang kemilau, menyiratkan betapa berharganya ia.
Semua berebut ingin tahu. Media massa memburunya, untuk membuat atau meng-ekspose profil siswi SMP Negeri 1 Karanganyar, Kebumen, itu. Siapa gadis manis yang biasa disapa Riyan, sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun, meluangkan waktunya ditengah kesibukannya, untuk menelfon secara pribadi untuk berbicara langsung dengannya?
Riyan. Gadis polos yang sederhana. Dari berbagai berita yang dimuat di media massa, juga di Suara Merdeka, saat pengumuman kelulusan UN (Ujian Nasional) berlangsung, ia bahkan sedang membantu ibunya di rumah. Tak ada risau di hati, karena ia merasa telah melakukan hal yang benar, yaitu mengerjakan soal UN sebagaimana yang mestinya. Sehingga ia pun memiliki keyakinan kuat, lulus dalam UN.
Hebatnya, ia tidak hanya sekadar lulus. Tetapi capaian nilainya, membuat semua orang kagum. Hampir sempurna. Tiga mata pelajaran, yaitu Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Bahasa Indonesia, mendapatkan nilai sempurna; 10. Hanya di pelajaran Bahasa Inggris, ia meraih nilai di bawah 10, yaitu 9.80. (SM, 9/5/2010).
Lalu, apa sekadar kekaguman yang muncul, dari kita, dan dari generasi bangsa ini? Apa kita akan merasa cukup hanya dengan ikut merasa bangga, dengan hasil yang dicapai oleh puteri pasangan Cipto Raharjo dan Sukarni Mugi Rahayu?
Tentu tidak. Karena dibalik prestasi yang telah diraih oleh Riyan, sebuah pesan yang sangat agung tersirat. Pesan akan ketekunan, kerja keras, dan percaya diri setelah berusaha melakukan yang terbaik.
Riyan adalah cermin, yang seharusnya menyadarkan kita akan sebuah perjuangan dan kerja keras, untuk mencapai hasil yang terbaik. Pepatah mengatakan, sesuatu yang terbaik, adalah yang tersulit untuk didapat. Ini juga berlaku bagi Riyan. Gadis itu tentu tidak mudah untuk mendapatkan nilai yang demikian mengagumkan.
Benar, bahwa perjuangan panjang yang melelahkan, suatu kali akan menjadikenangan indah ketika kesuksesan diraih. Sebagaimana seseorang yang kehausan di padang belantara, akan sirnalah dahaganya saat menemukan setetes air untuk diminum.
Dan Riyan telah menemukan itu. Tidak pernah terbayang tentunya, jika pada suatu ketika, Presiden RI SBY menelfon dan mengajaknya bicara. Tetapi itu kenyataan. Sebuah kebanggan, buah dari perjalan dan perjuangan panjangnya dalam menuntut ilmu, yang layak menjadi inspirasi bagi para generasi ini. Selamat, Riyan. (Rosidi)